Rabu, 30 Desember 2015

ANALISIS PHK PT NESTLE CABANG WARU BERDASARKAN ETIKA BISNIS

NAMA : THARIQ AFIF R. H
NPM : 17212345
KELAS : 4EA02
MATA KULIAH : ETIKA BISNIS







1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


            Pada tanggal 13 April 2000 PT Nestle cabang Waru, Surabaya melaksanakan rapat untuk mendiskusikan masalah Pemutusan Hak Kerja (PHK) terhadap 245 karyawannya. Kemudian pada tanggal 15 April 2010, sebanyak 245 karyawan pabrik telah menandatangani  kesepakatan bersama PHK dengan Nestle Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Head of Public Relation, Nestle Indonesia, Brata T Harjosubroto dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com, Jumat (8/2/2013). Setelah itu, sesuai dengan pasal 3 UU no. 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta, PT Nestle Indonesia mengajukan permohonan izin PHK kepada Panitia Penyelesaikan Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di Jakarta, dan P4P pada 1 Oktober 2002 telah mengeluarkan putusan nomor 1660/1578/232-6/XIII/PHK/10-2002 yang memberikan izin kepada PT Nestle Indonesia untuk melakukan PHK terhadap 245 bekas karyawan pabriknya di Waru terhitung sejak diterimanya pembayaran uang pesangon dan hak-hak lainnya sesuai kesepakatan bersama tentang PHK yang ditandatangani oleh pengusaha dan masing-masing bekas pekerja.


            Pada tahun berikutnya, 7 Januari 2003, sejumlah mantan karyawan yang mewakili 215 orang bekas karyawan PT Nestle Indonesia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pada 18 Desember 2003, pihak pengadilan menolak permohonan banding para bekas karyawan pabrik di Waru dan menyatakan putusan P4P adalah sah dan benar. Untuk memperkuat peluangnya dalam memenangi kasus tersebut, para bekas karyawan kembali mengajukan Memori Kasasi ke Mahkamah Agung RI pada 12 Januari 2004. Lewat putusan perkara 128K/TUN/2006, MA menyatakan menolak permohonan kasasi para bekas karyawan pabrik di Waru tersebut. Hal ini berarti dengan ditolaknya kasasi tersebut oleh badan hukum tertinggi di Indonesia, maka pihak penuntut sudah tidak bisa lagi mengajukan tuntutan hukum terhadap PT Nestle Indonesia. 




            Pada tahun 2013, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) mendesak manajemen PT Nestle Indonesia untuk segera menyelesaikan kasus PHK 245 karyawan PT. Nestle Indonesia cabang Waru, Surabaya yang diduga cacat hukum. Seruan kepada PT Nestle ini terkait dengan penemuan beberapa informasi yang menerangkan bahwa keputusan PHK yang dilakukan oleh PT Nestle Indonesia tidak didasari aturan yang berlaku pada saat dilakukannya PHK. Selain itu, karyawan hanya diberi waktu selama 2 hari untuk memikirkan PHK tersebut dengan besaran pesangon sesuai kebijakan perusahaan (13-15 April 2000). Alasan lain yang menyebabkan penentangan oleh pihak karyawan adalah karyawan yang di PHK sebagian besar dipaksa bekerja hingga tahun 2002. Bersamaan dengan itu, bulan Juli 2000 muncul Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 150 tahun 2000 yang mengatur aturan PHK dan besaran pesangon. Namun, pihak PT Nestle Indonesia Waru mengabaikan aturan baru tersebut dalam memproses PHK karyawannya.


            PHK yang dilakukan pada tahun 2002 sendiri dilakukan karena lokasi Waru sudah tidak dianggap lagi sebagai lokasi yang tepat dalam mendirikan pabrik, sehingga pabrik tersebut diintegrasikan dengan pabrik di Kejayan, Pasuruan. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan bahwa wilayah Waru telah berkembang menjadi daerah pemukiman dan kurang memadai untuk kegiatan industri serta tidak memungkinkan dilakukannya perluasan pabrik.


1.2 Materi


Menurut Undang – Undang No. 13 tahun 2003 pasal 25 tentang ketenagakerjaan, Pemutusan Hak Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. 

            Menurut pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :

  • Pekerja meninggal dunia
  • Jangka waktu kontak kerja telah berakhiR
  • Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap 
  • Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Perundingan Bipartit adalah forum perundingan antar pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Tujuannya adalah untuk menghindari pengingkaran dari salah satu pihak atau dari kedua pihak.



2. ANALISIS

            Menurut saya, ada beberapa kesalahan yang dilakukan oleh PT Nestle terkait perihal PHK terhadap 245 karyawannya, yaitu:




  • Jenjang waktu yang sangat singkat antara rapat pembahasan PHK (13 April 2010) dan penandatangan kesepakatan bersama PHK dengan Nestle Indonesia (15 April 2010) yaitu selama  2 hari. Hal ini menyebabkan karyawan memiliki prasangka bahwa keputusan PHK yang dibuat adalah berdasarkan kebijakan PT Nestle sepihak tanpa perundingan lebih lanjut dengan karyawannya, melalui  berbagai media, seperti mediasi, konsiliasi, arbitrase dan bipartit. Bipartit sendiri harus sudah diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan. Kenyataannya, karyawan hanya diberi waktu 2 hari untuk mempertimbangkan PHK yang akan dilakukan oleh PT Nestle. Hal ini merupakan tindakan yang sangat tidak profesional karena perusahaan tiba-tiba memecat karyawannya yang hanya diberikan waktu 2 hari untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya untuk menafkahi hidup. Karyawan harus diberikan waktu yang lebih lama, media yang lebih canggih dalam merundingkan PHK, atau konsultan hukum yang akan mewakili mereka dalam setiap perundingan terkait PHK dengan PT Nestle, sehingga karyawan tidak akan merasakan rugi atas hasil perundingan tersebut.


  • PT Nestle sudah boleh melakukan PHK pada tahun 2002 setelah mendapatkan izin dari P4P. Masalahnya, dari tahun 2000 hingga 2002 masih banyak karyawan yang akan di PHK masih dipaksa bekerja . Hal ini menunjukkan bahwa PT Nestle tidak mematuhi hasil perundingan yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri. 


  • Pada bulan Juli 2000 muncul Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 150 tahun 2000 yang mengatur aturan PHK dan besaran pesangon. Penandatangan kesepakatan PHK dilakukan pada April, sedangkan peraturan baru tersebut berlaku sejak Juli, dan PT Nestle tidak mengikuti peraturan baru tersebut. Hal ini menunjukkan ketidakpatuhan PT Nestle terhadap peraturan yang yang telah ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu.


3. KESIMPULAN


            Pelajaran yang dapat diambil dari kasus PHK PT Nestle dan karyawannya adalah bahwa setiap perusahaan yang memperkerjakan karyawannya harus lebih memperhatikan nasib karyawannya dan tidak hanya memperhatikan nasib perusahaan/pabrik sendiri. Begitu juga ketika melakukan perundingan, perusahaan harus  memastikan bahwa tidak ada keputusan yang terselubung dan karyawan bisa mengetahui dan mempelajari setiap kebijakan yang dibuat oleh perusahaan. Meskipun pabrik ingin diintegrasikan ke Pasuruan, perusahaan harus tetap memikirkan nasib karyawannya dahulu sebelum melakukan perubahan terhadap operasional perusahaan.




4. REFERENSI


http://bisnis.liputan6.com/read/507190/nestle-kasus-phk-di-pabrik-waru-telah-selesai-secara-hukum

http://www.lensaindonesia.com/2013/02/03/dpr-segera-panggil-pt-nestle.html

http://www.legalakses.com/perundingan-bipartit-dalam-perselisihan-pengusaha-dan-pekerja/








Tidak ada komentar: