NAMA : THARIQ AFIF R. H
NPM : 17212345
KELAS : 4EA02
MATA KULIAH : ETIKA BISNIS
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada
tanggal 13 April 2000 PT Nestle cabang Waru, Surabaya melaksanakan rapat untuk
mendiskusikan masalah Pemutusan Hak Kerja (PHK) terhadap 245 karyawannya.
Kemudian pada tanggal 15 April 2010, sebanyak 245 karyawan pabrik telah
menandatangani kesepakatan bersama PHK
dengan Nestle Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Head of Public Relation,
Nestle Indonesia, Brata T Harjosubroto dalam keterangan tertulisnya kepada
Liputan6.com, Jumat (8/2/2013). Setelah itu, sesuai dengan pasal 3 UU no. 12
tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta, PT Nestle Indonesia mengajukan
permohonan izin PHK kepada Panitia Penyelesaikan Perselisihan Perburuhan Pusat
(P4P) di Jakarta, dan P4P pada 1 Oktober 2002 telah mengeluarkan putusan nomor
1660/1578/232-6/XIII/PHK/10-2002 yang memberikan izin kepada PT Nestle
Indonesia untuk melakukan PHK terhadap 245 bekas karyawan pabriknya di Waru
terhitung sejak diterimanya pembayaran uang pesangon dan hak-hak lainnya sesuai
kesepakatan bersama tentang PHK yang ditandatangani oleh pengusaha dan
masing-masing bekas pekerja.
Pada
tahun berikutnya, 7 Januari 2003, sejumlah mantan karyawan yang mewakili 215
orang bekas karyawan PT Nestle Indonesia mengajukan banding ke Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara. Pada 18 Desember 2003, pihak pengadilan menolak
permohonan banding para bekas karyawan pabrik di Waru dan menyatakan putusan
P4P adalah sah dan benar. Untuk memperkuat peluangnya dalam memenangi kasus
tersebut, para bekas karyawan kembali mengajukan Memori Kasasi ke Mahkamah
Agung RI pada 12 Januari 2004. Lewat putusan perkara 128K/TUN/2006, MA
menyatakan menolak permohonan kasasi para bekas karyawan pabrik di Waru
tersebut. Hal ini berarti dengan ditolaknya kasasi tersebut oleh badan hukum
tertinggi di Indonesia, maka pihak penuntut sudah tidak bisa lagi mengajukan
tuntutan hukum terhadap PT Nestle Indonesia.
Pada
tahun 2013, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) mendesak manajemen PT Nestle Indonesia
untuk segera menyelesaikan kasus PHK 245 karyawan PT. Nestle Indonesia cabang
Waru, Surabaya yang diduga cacat hukum. Seruan kepada PT Nestle ini terkait
dengan penemuan beberapa informasi yang menerangkan bahwa keputusan PHK yang
dilakukan oleh PT Nestle Indonesia tidak didasari aturan yang berlaku pada saat
dilakukannya PHK. Selain itu, karyawan hanya diberi waktu selama 2 hari untuk
memikirkan PHK tersebut dengan besaran pesangon sesuai kebijakan perusahaan
(13-15 April 2000). Alasan lain yang menyebabkan penentangan oleh pihak
karyawan adalah karyawan yang di PHK sebagian besar dipaksa bekerja hingga
tahun 2002. Bersamaan dengan itu, bulan Juli 2000 muncul Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No 150 tahun 2000 yang mengatur aturan PHK dan besaran pesangon. Namun,
pihak PT Nestle Indonesia Waru mengabaikan aturan baru tersebut dalam memproses
PHK karyawannya.
PHK
yang dilakukan pada tahun 2002 sendiri dilakukan karena lokasi Waru sudah tidak
dianggap lagi sebagai lokasi yang tepat dalam mendirikan pabrik, sehingga
pabrik tersebut diintegrasikan dengan pabrik di Kejayan, Pasuruan. Keputusan
ini diambil dengan pertimbangan bahwa wilayah Waru telah berkembang menjadi
daerah pemukiman dan kurang memadai untuk kegiatan industri serta tidak
memungkinkan dilakukannya perluasan pabrik.
1.2 Materi
Menurut Undang
– Undang No. 13 tahun 2003 pasal 25 tentang ketenagakerjaan, Pemutusan Hak
Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Menurut
pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian
kerja dapat berakhir apabila :
- Pekerja meninggal dunia
- Jangka waktu kontak kerja telah berakhiR
- Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
- Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perundingan
Bipartit adalah forum perundingan antar pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja.
Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian
masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Tujuannya
adalah untuk menghindari pengingkaran dari salah satu pihak atau dari kedua
pihak.
2. ANALISIS
Menurut
saya, ada beberapa kesalahan yang dilakukan oleh PT Nestle terkait perihal PHK
terhadap 245 karyawannya, yaitu:
- Jenjang waktu yang sangat singkat antara rapat pembahasan PHK (13 April 2010) dan penandatangan kesepakatan bersama PHK dengan Nestle Indonesia (15 April 2010) yaitu selama 2 hari. Hal ini menyebabkan karyawan memiliki prasangka bahwa keputusan PHK yang dibuat adalah berdasarkan kebijakan PT Nestle sepihak tanpa perundingan lebih lanjut dengan karyawannya, melalui berbagai media, seperti mediasi, konsiliasi, arbitrase dan bipartit. Bipartit sendiri harus sudah diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan. Kenyataannya, karyawan hanya diberi waktu 2 hari untuk mempertimbangkan PHK yang akan dilakukan oleh PT Nestle. Hal ini merupakan tindakan yang sangat tidak profesional karena perusahaan tiba-tiba memecat karyawannya yang hanya diberikan waktu 2 hari untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya untuk menafkahi hidup. Karyawan harus diberikan waktu yang lebih lama, media yang lebih canggih dalam merundingkan PHK, atau konsultan hukum yang akan mewakili mereka dalam setiap perundingan terkait PHK dengan PT Nestle, sehingga karyawan tidak akan merasakan rugi atas hasil perundingan tersebut.
- PT Nestle sudah boleh melakukan PHK pada tahun 2002 setelah mendapatkan izin dari P4P. Masalahnya, dari tahun 2000 hingga 2002 masih banyak karyawan yang akan di PHK masih dipaksa bekerja . Hal ini menunjukkan bahwa PT Nestle tidak mematuhi hasil perundingan yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri.
- Pada bulan Juli 2000 muncul Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 150 tahun 2000 yang mengatur aturan PHK dan besaran pesangon. Penandatangan kesepakatan PHK dilakukan pada April, sedangkan peraturan baru tersebut berlaku sejak Juli, dan PT Nestle tidak mengikuti peraturan baru tersebut. Hal ini menunjukkan ketidakpatuhan PT Nestle terhadap peraturan yang yang telah ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu.
3. KESIMPULAN
Pelajaran
yang dapat diambil dari kasus PHK PT Nestle dan karyawannya adalah bahwa setiap
perusahaan yang memperkerjakan karyawannya harus lebih memperhatikan nasib
karyawannya dan tidak hanya memperhatikan nasib perusahaan/pabrik sendiri.
Begitu juga ketika melakukan perundingan, perusahaan harus memastikan bahwa tidak ada keputusan yang
terselubung dan karyawan bisa mengetahui dan mempelajari setiap kebijakan yang
dibuat oleh perusahaan. Meskipun pabrik ingin diintegrasikan ke Pasuruan,
perusahaan harus tetap memikirkan nasib karyawannya dahulu sebelum melakukan
perubahan terhadap operasional perusahaan.
4. REFERENSI
http://bisnis.liputan6.com/read/507190/nestle-kasus-phk-di-pabrik-waru-telah-selesai-secara-hukum
http://www.lensaindonesia.com/2013/02/03/dpr-segera-panggil-pt-nestle.html
http://www.legalakses.com/perundingan-bipartit-dalam-perselisihan-pengusaha-dan-pekerja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar